Kandy, Sri Lanka – Buddhisme Theravada telah menjabarkan dua Kebenaran: Kebenaran Sejati/Mutlak (Paramatha-sacca) dan Kebenaran Konvensional/Relatif (Sammuti-sacca). Nagarjuna Thera dari Tradisi Mahayana juga memperkenalkan dua kebenaran, tetapi teori Beliau berbeda dengan Buddhisme Theravada.
Sesungguhnya, adakah dua jenis Kebenaran dalam Buddhisme Theravada? Apakah kedua Kebenaran ini memiliki perbedaan tingkat? Apakah Kebenaran Sejati/Mutlak lebih tinggi dibandingkan dengan Kebenaran Konvensional/Relatif? Beberapa Buddhis melakukan kesalahan dengan mengatakan bahwa Kebenaran Sejati/Mutlak adalah lebih tinggi dari Kebenaran Konvensional/Relatif dan beberapa orang menyatakan lebih lanjut bahwa Nibbana/Nirvana merupakan Kebenaran Sejati/Mutlak.
Berdasarkan pada anggapan tersebut, mereka tiba pada interpretasi atau penafsiran baru mengenai Nibbana, yang bisa mengelirukan. Kenyataannya, hanya ada satu Kebenaran dalam Buddhisme, tetapi terdapat dua cara di dalam mempresentasikannya (menunjukkannya). Hal ini akan dijelaskan secara singkat.
Sri Buddha dan juga para ahli Abhidhamma yang diskusi-diskusi mereka berdasarkan pada pengajaran Sri Buddha, secara pasti mengatakan bahwa Kebenaran Sejati/Mutlak tidaklah lebih tinggi dari Kebenaran Konvensional/Relatif dan tidak ada perbedaan dalam tingkat antara keduanya. Yang paling penting, kedua Kebenaran ini dapat digunakan untuk mencapai pemahaman mendalam dan mengikuti jalan menuju Pencerahan. Sri Buddha telah menggunakan kedua Kebenaran ini dalam pengajaran-Nya tergantung pada kemampuan intelektual dari para pendengar.
Lalu apa alasannya dari memperkenalkan dua Kebenaran? Dalam pengajaran Buddhis awal, segala fenomena keberadaan (eksistensi) manusia, baik batin maupun jasmani, dianalisa berdasarkan pada lima metode atau cara.
Pada metode pertama, manusia di analisa ke dalam “nama” (batin) dan “rupa” (jasmani), pada metode kedua ke dalam lima kelompok (rupa [jasmani], vedanā [perasaan], sañña [pencerapan], saṅkhāra [bentuk-bentuk pikiran] dan vijñāna [kesadaran]), pada metode ketiga ke dalam enam dhatu/unsur (tanah, air, panas, udara, ruang, dan kesadaran), pada metode keempat ke dalam dua belas jalur persepsi indra dan bentukan mental/12 ayatana, dan pada metode kelima ke dalam delapan belas dhatu/unsur.
Turunan kata (derivasi) ini dipandang sebagai unsur-unsur dari semua fenomena eksistensi manusia. Ketika sebuah fenomena tertentu dijelaskan dalam atau dengan istilah-istilah unsur-unsur ini, maka penjelasan tersebut dipandang sebagai Kebenaran Sejati / Mutlak. Ketika fenomena yang sama dijelaskan dengan istilah-istilah kesepakatan umum maka dipandang sebagai Kebenaran Konvensional/Relatif.
Belakangan, para ahli Abhidhamma menyadari bahwa dibutuhkan untuk menganalisa lebih jauh unsur-unsur di atas dan mereka tiba pada unsur-unsur mula/asal yang terkecil, yang disebut dengan Dhamma, sebuah daftar yang menyeluruh yang nampak dalam Abhidhamma Pitaka.
Dikatakan, Dhamma-Dhamma ini mengambil bagian dalam proses sebab-musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada). Meskipun mereka dikenali sebagai unsur-unsur mula/asal untuk tujuan sebuah pemahaman, tetapi mereka bukanlah sesuatu yang terpisah dan masing-masing muncul bersamaan dengan Dhamma-Dhamma yang lain. Kemunculan mereka bergantung pada kondisi-kondisi dan ketika mereka terbentuk mereka juga dapat bertindak sebagai kondisi-kondisi bagi kemunculan-kemunculan yang lainnya.
Semua pengalaman batin dan fenomena jasmani terbentuk dengan cara ini. Penjelasan terhadap sebuah gejala, batin ataupun materi, dalam istilah Dhamma seperti ini dikatakan sebagai Kebenaran Sejati/Mutlak. Ketika gejala yang sama dijelaskan dalam istilah kesepakatan umum, maka penjelasan tersebut merupakan Kebenaran Konvensional/Relatif. Jika misalnya, seorang manusia dijelaskan dalam istilah lima “skandha”, hal ini dianggap sebagai Kebenaran Sejati/Mutlak. Di sisi lain, jika seorang manusia dijelaskan sebagai seseorang yang akan menjalani hidup, dan menderita serta akhirnya meninggal dalam sebuah proses “samsara” tanpa akhir, maka akan menjadi Kebenaran Konvensional/Relatif.
Bagaimana juga pemahaman ini bukan berarti ada dua jenis Kebenaran di dalam Buddhisme Theravada, tetapi lebih kepada dua cara mempresentasikan Kebenaran.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya keduanya dapat dipergunakan sebagai dua cara untuk berada pada jalan Pencerahan. Dengan demikian hanya ada satu Kebenaran dalam Buddhisme Theravada.
– Selesai –
Judul Asli: Two Truths in Buddhism
Oleh: Profesor N. A. de S. Amaratunga, The Island, 9 September 2008
Diterjemahkan oleh: Bhagavant.com